Wednesday 5 October 2011

Tiga Macam Hati Manusia

Hati adalah anugerah yang Allah subhanahu wa ta’ala karuniakan kepada manusia. Dengan hati manusia bisa mengenal dan mencintai Tuhannya, sekalipun telinga dan mata tiada sanggup meraih wujud_Nya. Baru di akhirat kelak, mata hamba-hamba Allah yang menjadi penghuni syurga berkesempatan untuk memandang wajah_Nya nan Agung dan Mulia.
Hati juga adalah pusat kebahagiaan. Bahagia atau sengsara bukan tergantung materi, gelar atau jabatan. Namun lebih tergantung pada seberapa besar ketenangan yang dirasakan oleh hati yang bersemayan di dalam dada.
Hati adalah saksi yang akan menyelamatkan atau membinasakan. Orang yang kembali kepada Allah dengan hati yang hidup berhak mendiami syurga yang luasnya seluas langit dan bumi. Allah subhanahu wa ta’ala befirman, ” Pada hari di mana tiada manfaat harta benda dan anak-anak, kecuali siapa yang datang dengan qalbun salim (hati yang selamat).” [QS. Asy_Syu’ara (26): 88-89]
Hati laksana cermin. Kita harus senantiasa tekun membersihkannya agar ia tetap bersih, terang, dan mengkilat. Hanya dengan membersihkan hati akan diraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
Orang yang memiliki hati yang makin suci adalah orang yang paling mulia dalam pandangan Allah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ” Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian dalam pandangan Allah adalah yang paling bertaqwa.” [QS. Al_Hujurat (49): 13] Dengan demikian, hakekat taqwa adalah hati yang suci.
Karena hati itu disifati dengan hidup dan mati, maka hati manusia bisa dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:
1. Hati yang Sehat
Hati yang sehat dalam arti benar-benar hidup. Hanya orang yang membawa hati inilah yang bisa mendapatkan keselamatan pada hari kiamat kelak. Hati ini disebut qalbin salim (hati yang bersih dan sehat) karena sifat bersih dan sehat benar-benar telah menyatu dalam hatinya.
Qalbun salim adalah hati yang terbebas dari godaan syahwat yang mengajak kepada kedurhakaan terhadap perintah dan larangan Allah, dan terbebas dari ranjau syubhat (racun pemikiran) sehingga bisa menerima semua berita yang disampaikan oleh_Nya. Hati tersebut hanya memberikan penghambaan kepada_Nya semata dan memberikan ketaatan kepada Rasul_Nya semata. Oleh karena itu, jika hati tersebut mencintai, maka ia mencintai karena Allah. Dan jika ia membenci, maka ia membenci karena Allah. Jika ia memberi atau tidak memberi, maka semuanya karena Allah subhanahu wa ta’ala.
Hati itu merasa terikat kuat untuk mengikuti dan tunduk kepada Rasul_Nya, tidak kepada ucapan atau perbuatan siapapun. Rasul menjadi hakim bagi dirinya dalam segala hal.
Ada ulama salafush shalih yang mengatakan bahwa semua perbuatan, sekecil apapun akan dihadapkan kepada dua pertanyaan, yaitu mengapa dan bagaimana.
Pertanyaan pertama, membahas tentang sebab, motivasi atau pendorong untuk melakukan suatu perbuatan. Apakah dilakukan untuk tujuan jangka pendek untuk kepentingan pelakunya dan orientasinya dunia semata, agar mendapatkan pujian dari orang lain, atau khawatir dengan celaan mereka ataukah motivasinya adalah menunaikan kewajiban sebagai seorang hamba Allah Ta’ala.
Pertanyaan kedua, membahas seberapa jauh kita mengikuti Rasul dalam melakukan amal ibadah tersebut. Dengan kata lain, apakah perbuatan tersebut dituntunkan atau tidak.
Dengan demikian, pertanyan pertama berkenaan dengan keikhlashan, sedangkan pertanyaan kedua berkenaan dengan sikap mengikuti tuntunan Rasul_Nya.
2. Hati yang Mati
Hati yang mati, tiada kehidupan di dalamnya. Hati tersebut tidak menganal Tuhannya dan tidak menyembah_Nya sesuai dengan perintah_Nya. Hati tersebut bahkan selalu menuruti keinginan dan kesenangan nafsu, meskipun mendapatkan murka dan kebencian Allah Ta’ala. Semua itu tidak diperdulikannya, yang penting keinginannya bisa terwujud, baik Allah ridho atau murka. Hawa nafsu adaah pemimpinnya, keinginan syahwat adalah komandonya, kebodohan adalah penuntunnya, dan kelalaian dari mengingat Allah adalah kendaraannya. Hati ini terbuai dengan pikiran untuk mendapatkan tujuan-tujuan duniawi semata, mabuk oleh hawa nafsu, dan kesenangan sesaat.
3. Hati yang Sakit
Inilah hati yang hidup tetapi cacat, di dalamnya terdapat dua unsur yang saling tarik-menarik. Bila unsur kehidupan yang memenangkan pertarungan, maka terdapat di dalamnya kecintaan kepada Allah, keimanan, keikhlashan, dan tawakal kepada_Nya. Selain itu, di dalam hati ini juga terdapat rasa cinta kepada nafsu, dengki, sombong, bangga diri, dan lain sebaginya. Itulah unsur-unsur yang merusak hati.
Dengan demikian, dalam hati yang sakit terdapat dua penyeru, yang satu mengajak untuk taat kepada Allah dan Rasul_Nya, dan hari akhir. Sedangkan yang lain mengajak kepada kesenangan sesaat.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat kita ketahui bahwa hati yang pertama selalu tawadhu, lemah lembut, dan sadar. Hati yang kedua adalah kering dan mati. Sedangkan hati yang ketika adalah hati yang sakit. Hati seperti ini bisa menjadi lebih dekat dengan keselamatan dan bisa jadi lebih dekat kepada kehancuran.
Akhir dari tulisan ini, penulis berwasiat untuk kita semua. Sebagai seorang muslim, tentunya kita mendambakan hati yang hidup, yang selalu tawadhu, lemah lembut dan sadar. Bukan hati yang sakit, apalagi – na’uzdubillah – hati yang mati. Hati yang hidup adalah sebuah anugerah yang besar dari Allah Ta’ala. Sedangkan orang yang memiliki hati yang mati, maka ia sebenarnya telah mati sebelum waktunya, karena hidupnya di dunia ini tidak mengandung arti dan nilai lagi.
Semoga tulisan yang sangat sederhana ini bernilai ibadah di sisi Allah Ta’ala bagi penulis, pembacanya dan yang menyebarkannya. Dan semoga menjadi jalan yang lurus agar kita senantiasa menata hati kita, sehingga menjadi qalbun salim. Aamiin .. !!

 Filed Under: Artikel Islam by alhafizh84 

No comments:

Post a Comment